Visitor Counter

free counters

Monday, November 29, 2010

Pangudi Luhur 2010 : Your Mind, Our Stage

Iseng lagi nih nulis, lagi ngga ada kerjaan dan kebetulan mood lagi bagus buat nulis. Oia dan akhirnya nulis tentang apa yang saya mau lagi, bukan atas dasar "kewajiban".

PL Fair, itu adalah tradisi sebuah acara semacam "pensi" dari SMA Pangudi Luhur. Sebagai salah satu alumninya, saya pernah 3 tahun menjadi bagian dari panitia acara ini. Walaupun tidak sebagai panitia inti yang memiliki jabatan, tetapi saya cukup mendapat banyak sekali pelajaran untuk merealisasikan mimpi saya menjadi seorang event organizer acara musik.

Saya ingin sedikit mengomentari acara PL Fair yang Sabtu (27 November 2010) yang saya datangi. Sebenarnya niat saya untuk datang ke acara ini hanya semata untuk reunian dengan teman-teman alumni SMA, karena saya jarang mendapatkan kesempatan untuk berkumpul dengan mereka yang mayoritas masih meneumpuh studi di Jakarta. Acara musik dan hiburan lainnya hanya semata tambahan. Lagipula acara PL Fair ini adalah sebagian besar hasil kerja dari siswa SMA PL angkatan 2011 yang notabene adalah junior hasil "didikan" angkatan saya.

Saya datang sekitar pukul 19.00, agak ngaret karena harus menunggu pacar saya menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu. Agak kecewa karena tidak sempat menonton cheers PL yang menjadi salah satu ciri khas dari acara ini dan sudah dikenal oleh sebagian besar remaja di Jakarta. Ada beberapa band seperti Dried Cassava (band alumni PL'07), Ballads of The Cliche, dan Efek Rumah Kaca yang sebenarnya ingin saya tonton tapi tidak sempat. Tapi gapapa deh, masih sempet nonton Seringai dan Andien lah. Begitu saya memasuki venue acara ini, terasa sangat berbeda dengan PL Fair sebelumnya. Sejak tahun 2004 PL Fair selalu diadakan di SMA Pangudi Luhur sendiri, itu juga menjadi salah satu hal unik dari PL Fair (sebenarnya!). Tetapi dikarenakan masalah internal maka dipindahlah tempat dari acara ini. Mungkin karena selama 3 tahun di SMA ini saya selalu mengadakan PL Fair di sekolah dan faktor sebagai alumni, maka saya merasa feel yang berbeda ketika datang ke acara ini yang tidak di sekolah.

Dari sudut pandang sebagai alumni, saya kecewa dengan pihak panitia karena acaranya terlalu simpel dan monoton. Tagline "Your Mind is Our Stage" menurut saya kurang "nendang" soalnya ngga mencerminkan sama sekali acaranya, lagipula berdasarkan data darimana kalo acara tersebut adalah bentuk acara musik yang para "penonton" inginkan? Agak melenceng dari PL Fair sebelum-sebelumnya yang identik menggunakan tema, tapi PL Fair kali ini menjadi pelajaran berharga untuk para junior dari panitia ke depannya. 1 hal yang ada di otak saya dan para alumni yang ada "kalo kaya gini, apa mungkin tahun depan bakal ada PL Fair lagi? We doubt it" Hal yang bagus adalah mereka mencoba untuk out of the box atau keluar dari "tradisi" yang sudah ada dengan meniadakan tema, tapi mungkin bentuknya yang masih kurang bagus. Pernah dulu saat saya masih kelas 2 SMA, panitia inti membuat sebuah acara yang "berbeda" juga dan tidak menggunakan tema. Namun hasilnya juga ya kurang maksimal, walaupun saat itu venue yang digunakan masih di sekolah.

Sempet ada panitia yang dulu adalah junior di ekskul sekolah nyamperin dan nanya-nanya "gimana menurut alumni acaranya?" Saya jawab dengan jujur apa adanya seperti yang tadi saya tulis di atas dan dia sepertinya agak down mendengar itu. Kemudian dia bilang bahwa untuk mereka (panitia) acara ini sudah cukup sukses, walaupun saya tidak bertanya lebih lanjut definisi dari "sukses" menurut panitia (mungkin dari segi finansial atau dari segi jumlah crowd yang datang).

Overall, kecewa mungkin menjadi 1 kata tepat yang menggambarkan feel saya dan beberapa alumni lainnya. Namun mungkin apabila saya di posisi mereka dan mengalami situasi yang serupa, mungkin saya belum tentu bisa membuat acara sebagus ini. Salah satu pengalaman yang bagus muncul dari kegagalan, supaya kita bisa mencegah terjadinya kegagalan-kegagalan berikutnya. Jerbat PL'09 out.

Poster PL Fair 2010 : Your Mind is Our Stage

Andien when performing at PL Fair 2010

Seringai at PL Fair 2010

Sedikit narsis, PL Fair 2008 Electricity yang panitianya angkatan saya :p

Sumber gambar : Mbah Google

Wednesday, November 24, 2010

MAGNUM, fenomena pergaulan di akhir 2010

Akhir-akhir ini hampir semua orang membicarakan fenomena MAGNUM. Magnum adalah sebuah es krim yang (kalau tidak salah) diproduksi oleh Walls. Bentuk dari es krim Magnum ini adalah es krim putih (sepertinya vanilla) yang dilapisi oleh coklat yang agak tebal. Setelah saya googling untuk mengetahui sejarah Magnum ini, ternyata Magnum sudah ada di Indonesia sejak lama sekitar tahun 90an akhir. Saya ingat saat jaman SMP kelas 1 (tahun 2003) saya sering membeli Magnum yang waktu itu harganya masih sekitar 6000 Rupiah. Pada jaman saya kelas 2 SMA (tahun 2007) harganya naik menjadi sekitar 8000 Rupiah. Terakhir kemarin saya menemani teman untuk membeli Magnum di salah satu supermarket di daerah Dago harganya 10000 Rupiah. Magnum sekarang juga memiliki Brand Ambassador di Indonesia yaitu Marissa Nasution.

Magnum adalah sebuah brand es krim milik Unilever Inggris/Belanda dan dijual sebagai salah satu produk dari merk Heartbrand (di Indonesia, Britania Raya, dan beberapa negara lain dijual melalui Wall's). Pertama kali Magnum dijual pada tahun 1987 (dengan nama Magnum Original) memiliki berat 86 gram (120 ml). Pada tahun 1994 mulai dijual Magnum Ice Cream Cone dan pada tahun 2002 mulai dijual Magnum Sandwich Ice Cream. sumber : wikipedia

Entah kenapa tiba-tiba akhir-akhir ini Magnum mulai menjamur dimana-mana dan banyak orang mencari-cari es krim ini. Setelah saya ketahui, ternyata Walls sepertinya sedang “menghidupkan” brand Magnum ini dengan membuat sebuah iklan baru di TV. Iklannya seperti ini :

Jujur saja, bagi saya iklan ini kurang menarik dan lebih menarik iklan Wall’s Cornetto Mini yang ini :

Kembali lagi ke selera masing-masing orang sih, tapi hebatnya dari fenomena Magnum yang terjadi sekarang bagi para remaja adalah Magnum menjadi tolak ukur “pergaulan” seseorang. Bisa dikatakan fenomena ini sama seperti fenomena Blackberry (bb) yang mana saat ini hampir semua remaja memakainya. Kalo kata “remaja gaul” saat ini “lo belom pake bb? Gak gaul lo!” dan kemudian saat fenomena Magnum muncul “lo belom coba Magnum?enak banget loh, gak gaul lo!” Jujur saja, beberapa teman saya “termakan” oleh trend ini. Dia menjadi merasa kurang gaul dan mati-matian mencari Magnum ke seluruh supermarket di kota Bandung. Sempat saya berpikir, mungkin Wall's menyewa sejumlah orang yang memiliki "eksistensi" di masyarakat untuk membuat brand Magnum ini naik lagi di pasaran. Terbukti, pemasaran langsung (Direct Marketing) secara mulut ke mulut memang masih efektif. Hal ini membuat Magnum menjadi salah satu topik hangat untuk dibicarakan selain kasus Gayus dan bencana Merapi. Selain itu, jumlah Magnum di pasaran sekarang entah kenapa sangatlah sedikit. Hal ini membuat orang semakin penasaran dengan “Fenomena Magnum” ini dan membuat Magnum ini semakin di cari dan laku.

Magnum yang sekarang muncul memiliki 3 rasa yaitu Classic, Almond, dan Truffle. Ternyata di bagian negara lain, Magnum memiliki banyak varian. Ada Magnum Mini, Magnum Essence, Magnum Temptation, dan masih banyak macam varian Magnum ini. Beberapa gambar varian Magnum :

Magnum Mini

Brand Ambassador Magnum Indonesia
Marissa Nasution

(Kiri - Kanan) Magnum White, Magnum Mini, Magnum Classic
Magnum Almond, Magnum Double Caramel

Magnum Gold

Eva Longoria, Brand Ambassador Magnum 2008

Eva Mendez, another Magnum Brand Ambassador

Jadi, sudahkah anda membeli Magnum hari ini?

Sumber Gambar dan Video: Google Images dan Youtube

Friday, July 23, 2010

BREW (Book Review) - Vice Versa

Selamat pagi, siang, sore, atau malam! (depends on your reading time guys) Kali ini di postingan ketiga blog MLM ini akan membahas sebuah buku berjudul VICE VERSA kalangan Alanda Kariza. Saya sendiri pernah mengenal Alanda Kariza dari jaman SMA karena dulu organisasinya The Cure for Tomorrow (TCFT) pernah membuat kaos mengenai lingkungan dan saya ingin membelinya, namun karena masalah teknis dari saya yang sulit melakukan pembayaran (baca: ga ada duit T.T) di kemudian hari saya lupa dan baru ingat beberapa bulan kemudian (if youre reading this nda, i’m really sorry i forget that hehe). Alanda Kariza sendiri adalah seorang anak muda seumuran dengan saya. Bedanya dia memiliki segudang talenta dan prestasi, sedangkan saya? Jangan dibahas deh -_-

Alanda adalah pendiri dari TCFT dan Indonesian Youth Conference (IYC). Alanda sering berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial, karena hal ini dia menjadi finalis termuda di ajang cosmoGIRL! of the year 2006, menerima Youth Changemaker Awards 2010: Innovation in Clean Water and Sanitation dari lembaga ASHOKA Indonesia, serta menjadi perwakilan Indonesia untuk jaringan aktivis muda Global Changemakers yang berpusat di London (Inggris) dan Bern (Swiss). Selain itu, dia terpilih juga menjadi salah satu dari 40 tokoh terpilih yang profilnya dimuat di 40 tahun Media Indonesia, awal Januari 2010. (to be honest, paragraf ini agak copy-paste dari profilnya di buku Vice Versa hehe).

Nah untuk bukunya sendiri awalnya saya cuman agak mendengar desas-desus mengenai buku ini di Twitter. Beberapa teman saya mempromosikannya di social mediaI itu dan ternyata saya juga menerima invitation launching bukunya di facebook (yang tidak bisa saya hadiri karena sedang di Bandung). Saya mulai tertarik karena Alanda me-Retweet review-review singkat dari beberapa orang yang sudah membaca buku ini. Setelah mencari bukunya di beberapa toko buku berinisial G, bukunya ternyata belum masuk ke toko buku tersebut. Ketika saya menanya ke Alanda, ternyata masih pre-order atau langsung beli di Alanda. Namun (lagi-lagi) karena saya sedang banyak urusan di Bandung, maka saya harus menunggu beberapa saat untuk bisa membeli buku ini. Akhirnya beberapa hari kemudian ketika sedang berjalan-jalan ke toko buku G, saya menemukan bukunya. Harganya juga tidak mahal, bayar pake Bung Otto Iskandar Dinata 2 lembar masi kembalian lah.

VICE VERSA adalah kumpulan dari cerita-cerita pendek yang pernah ditulis Alanda untuk beberapa majalah anak muda dan terdapat juga beberapa cerita baru yang ditulisnya. Mayoritas bercerita mengenai kehidupan manusia secara umum, tidak hanya menceritakan cinta melulu (seperti lagu Efek Rumah Kaca). Yang benar-benar saya kagum adalah Alanda berhasil untuk menceritakan semua ceritanya secara REALISTIS, tidak dilebih-lebihkan seperti cerpen pada umumnya. Ketika saya membaca novel ini, saya merasa seperti flashback ke hal-hal yang pernah saya alami yang mirip dengan cerita yang saya baca. Dari 20 cerpen yang ada dalam buku ini, saya rasa setengah dari cerita yang ditulis Alanda pasti kalian pernah melihat secara langsung. Entah itu kalian sendiri yang mengalami, lingkungan sekitar kalian, atau dari cerita-cerita orang-orang di sekitar lingkungan kalian. Buku ini berisi 20 cerita pendek mengenai berbagai macam hal. Ada yang mengenai jatuh cinta pada pandangan pertama, ada mengenai cinta terhadap orang tua, dan ada juga cerita tentang kaum kelas bawah. Ada sebuah cerita yang agak menyinggung lingkungan saya dulu, tetapi cerita ini membuat saya tau bagaimana orang luar melihat lingkungan saya tersebut. Beberapa cerita di dalam buku ini memang bahasanya agak berat (bahkan saya akui saya sendiri ada beberapa cerita yg ga ngerti bahasanya, maklum saya agak bodoh hehe) tapi mudah dimengerti juga ceritanya. Banyak pelajaran-pelajaran mengenai kehidupan yang bisa diambil dari buku ini. Saya rasa Alanda yang berjiwa sosial tinggi bisa menulis cerita dalam buku ini karena sudah mengerti dan berpengalaman secara langsung melihat lingkungan sekitar Jakarta yg konon katanya keras (but believe me, it is).

Overall, it’s a must read novel if you like Indonesian writter like Sitta Karina. Tidak sepenuhnya serius tetapi memiliki makna yang ingin disampaikan oleh Alanda kepada para pembacanya. Disarankan untuk anak muda dan orang dewasa lah, cowo ataupun cewe juga bisa baca buku ini. Grab it in your nearest bookstore now!

Cover depan VICE VERSA (courtesy of Mbah Google)

Ini dia penulisnya ALANDA KARIZA (Courtesy of Mbah Google)

Friday, July 9, 2010

BOR (Box Office Review) - Twilight Saga : Eclipse

Selamat datang ke postingan kedua dari blog MLM. Kali ini saya akan membicarakan mengenai film yang sedang hangat-hangatnya (seperti t*i ayam hangatnya) dibicarakan orang-orang yaitu Twilight Saga : Eclipse. Mengapa saya membicarakan film padahal judul blog ini sendiri adalah Music, Life, and Media? Karena menurut dosen saya film termasuk salah satu media untuk menyampaikan pesan kepada penontonnya (Penjelasan yang sangat Komunikasi banget, mengingat saya kuliah jurusan komunikasi).

Lanjut cerita sebenarnya saya awalnya agak malas menonton film ini karena saya sudah menonton yang pertama yaitu Twilight (berkali-kali diputar di star movies) dan kedua New Moon (paksaan salah satu teman saya) dan menurut saya “it’s another hot guy (and GAY) stuff movies”. Di film pertama lebih mirip sinetron salah satu TV nasional Indonesia (with a better effect of course) dan film kedua juga sama seperti itu. Ketika menonton yang ketiga (Eclipse) saya terpaksa ikut karena sudah janji dengan teman saya (dan dia meminta dengan melas).

Inti dari cerita film ini adalah seorang vampir bernama Edward Cullen (Robert Pattinson) mencintai seorang gadis manusia bernama Bella Swan (Kristen Stewart) dan cinta ini terhalang oleh seorang pemuda yang berasal dari kaum serigala (kalo di Indonesia dibilangnya siluman serigala soalnya bisa berubah) bernama Jacob Black (Taylor Lautner). Si Robert dan si Taylor inilah alasan para kaum hawa menonton film Twilight Saga ini, “Because they’re hot!!!” kata semua temen kaum hawa gw. Ya seperti umumnya cerita romansa ala Romeo and Juliette, mereka menemukan berbagai rintangan untuk menyatukan cinta (terlarang kalo kata The Virgin) antara manusia dan vampir. And here we go with the review for the third movie Eclipse...

Opening film agak aneh karena tidak diceritakan bagaimana kelanjutan dari ending New Moon dan berujung pada romantic scene si vampir Edward dan si gadis “calon” vampir Bella. Mereka berencana segera menikah dan Bella ingin segera cepat berubah menjadi vampir, tetapi Edward tidak ingin Bella tersiksa menjadi vampir seperti dirinya. Kemudian ada juga Victoria, musuh mereka yang berencana untuk membunuh The Cullens karena telah membunuh pacarnya (di film pertama) dengan bantuan 4 anggota Volturi (Bangsawan vampir dari Italia, cerita lengkap ada di film kedua). Volturi dan Victoria membangun sebuah pasukan vampir baru untuk melawan keluarga Cullens, yang pada akhirnya mendapat bantuan dari para kaum serigala (keluarga Jacob). Ending filmnya? Nonton aja sndiri, masi ada lah di bioskop-bioskop kesayangan anda (kasian banget sayang sama bioskop bukan sama manusia, i felt sorry for whoever that made this quote).

Overall,it’s not an action movie. It’s another semi-adult romance vampires, humans, and wolves movie dikarenakan banyak adegan-adegan orang dewasa. Saya benar-benar masih ngga tau letak menariknya dari cerita ini (walaupun mungkin bukunya lebih menarik jika tidak ada filmnya). Boring for sure. Cowo-cowo (normal) yang menonton pasti karena ada alasan tertentu seperti terpaksa (seperti saya), penasaran karena baca bukunya, atau memang dia un-normal. Kalo cewe gausah saya bilang kenapa kan?

Sedikit gambar mengenai film ini dan trailer video sebelum film ini keluar



Jadi intinya setelah menonton film ini pasti ketika selesai menonton dan keluar dari studio kalian akan mengatakan hal yang sama seperti saya. “Isabella Swan is (still) a damn pretty b*tch”

Wednesday, July 7, 2010

MR (Music Review) - DREW (Indonesia)

Selamat datang di blog MLM (Music Life and Media, not Multi-Level Marketing). Seperti judulnya, blog ini akan membicarakan recomended musik untuk didengar, hal-hal yg berhubungan dengan kehidupan, dan media yang ada di kehidupan kita (entah itu media social, media electronic, atau apapun).

Untuk pertama saya akan mencoba menuliskan review mengenai salah satu band di Indonesia, tepatnya Jakarta, bernama DREW. Band ini beraliran pop, beranggotakan 4 orang yaitu Sashilia Gandarum (Vokal), Aji Yudo (Gitar, back up vocal), Putra Praditya (Drum, back up vocal), dan Rishanda Singgih (Bass, back up vocal). Untuk profil bagaimana awal terbentuknya DREW silahkan buka di official website mereka, Facebook atau Myspace mereka karena saya akan menuliskan review berdasarkan apa yang saya lihat, dengar, rasakan (kayak lagunya Sheila on 7 -_-). DREW belum bisa dikategorikan band indie atau band major label karena saya belum tau mereka akan mengeluarkan album pertamanya melalui jalur yg mana.

Pertama kali saya menonton DREW secara live pada tanggal 4 Juli 2010 di acara Indonesian Youth Conference (IYC), DREW adalah pembicara di bagian klinik musik dan salah satu performer di akhir acara. Mereka cukup interactive dengan audience dan cukup "konyol" dalam manggung, namun mereka bisa mengimbangi antara saat bercanda dan saat harus main serius. Ini adalah salah satu yg saya sukai dari band ini karena jarang ada musisi yang interactive dengan audience-nya. Biasanya band menyapa audience, memperkenalkan anggota band, main musik, dan bubaran. Karena itu, hal ini membuat para audience di Teater Salihara (tempat IYC diadakan) menjadi tertarik dengan band ini.

Saya pertama kali mendengarkan DREW sebenarnya lumayan lama, sekitar tahun 2008 ketika mereka menjadi salah satu artis di album Nu Buzz 1.1 yang diluncurkan oleh Prambors. Album Nu Buzz 1.1 ini sendiri adalah album yang berisikan musisi-musisi indie yang mengirimkan demonya ke Prambors dan DREW adalah salah satu musisi terbaik di album ini. Terbukti karena single DREW berjudul Unromantic menjadi hit single pertama dari album ini saat itu (2008).

Setelah lama tidak terdengar kabarnya, band ini tahun 2010 mulai aktif bermain di beberapa gigs besar. Sebut saja salah satunya Java Jazz Festival yang tahun ini diadakan di Kemayoran dan Jazz Goes to Campus yang diadakan di Universitas Indonesia.

Menurut saya, mereka memiliki skill yang bagus dan mereka adalah salah satu musisi yg berasal dari jalur indie yang tetap memegang idealisme bermusik mereka dan berhasil membuat musik yang bisa didengar oleh orang yang tidak biasa mendengarkan musik indie. Hanya beberapa musisi yang berhasil mempertahankan "ego" bermusik mereka. Sebut saja Endah n'Rhesa, Maliq n d'essentials, The S.I.G.I.T, dan beberapa musisi indie lain yang masih mempertahankan "ego" bermusik mereka (FYI : Rhesa Aditya dari Endah n'Rhesa pernah menjadi additional bassist untuk DREW saat Shanda belum masuk ke DREW).




kiri - kanan : Shanda, Sashi, Aji, Putra

Enough with the talk, lets watch and listen to their music!

DREW performing live at Java Jazz Festival 2010



First music video Unromantic by DREW


Ini bukti "komedi" dari drummer dan gitarisnya



Sekian review band DREW dari saya, Satriya Adhiguna, seorang mahasiswa biasa yang menyukai musik. Mohon commentnya demi kelanjutan blog ini hehe. See you another time, readers!